Jumat, 06 April 2012

HOLIDAY WRITING CHALLENGE-GAGAS MEDIA

Novel : FORGIVEN, hlm. 98-99
Penulis : Morra Quatro


“Apa?” tanyaku dengan suara pelan sekaligus bingung karena tidak menyimak percakapannya.
                Will tiba-tiba diam. Ia berhenti, dan menundukkan wajahnya kepadaku.
                “Karla, kamu percaya sama aku?”
                Waktu kecil, aku pernah punya boneka Barbie. Papa membelikannya, tapi tak lama kemudian aku meninggalkannya karena Barbie hanya bisa berganti baju dan piknik, tidak terbang atau berjalan sendiri seperti helicopter dan kereta api yang kemudian ku-request sendiri pada papa. Itu adalah Barbie edisi pertama yang dijual di Indonesia. Barbie-ku rambutnya pirang, besar bervolume, dengan mata biru yang indah. Aku suka menatap matanya, tak habis pikir adakah orang yang punya mata biru seperti itu. Tapi, betapa pun indah dan birunya mata Barbie-ku, keduanya tidak bersinar. Tak bisa dirasakan kehidupan dari sana sedekat apa pun aku menatapnya.
                Rasanya nyaris seperti itu ketika kuangkat wajah menatap kedua mata Will saat ini.
                “You trust me?” ia mengulang pertanyaannya.
                “Iya, William,” jawabku, langsung merasa bersalah karena tidak mendengarkannya.
                “Look, everything’s gonna turn out fine,” ujarnya, berbisik. “okay?”
                Will harus sembuh sebelum berangkat ke Brussel. Tak ada yang bisa kulakukan untuk itu. Tapi aku bisa membuatnya senang.
                “I trust you,” kataku.
                Will lalu mengangkat tangannya, menyentuh pipiku. “Kamu ngak nangis, kan?”
                “Engak, Will.”
                Ia merabanya, pelan, dan aku berdiri tegak mematung, piring cake terangkat di tangan kanan. Tidak ia temukan air mata di sana. Aku lega meskipun rasanya itu pasti terjadi kalau aku berkedip satu kali saja. Ibu jarinya turun mengikuti lekuk pipiku. Lalu ia berhenti, menemukan sehelai bulu mata yang jatuh di sana (sempat-sempatnya, bisa-bisanya dia tidak melewatkan satu detail pun), dan mengambilnya.
                “Good. That’s my girl.”
                Will memang tidak pernah menjadi juara kelas. Tapi dia anak yang cerdas. Aku yakin, pasti ia akan menjadi seseorang yang hebat saat dewasa kelak. Dengan atau tanpa Nobel Fisika itu.
                Lalu aku berjanji dalam hati. Ucapku, apabila Tuhan mengembalikan segalanya seperti sedia kala, dan semuanya baik-baik saja setelah ini, maka aku akan memberikan apa pun yang bisa kuberi untuk Will.
***
SETELAH DIREMIX...
Setelah terjadinya gempa besar di akhir abad 21, para ilmuan dan peneliti di seluruh dunia berbondong-bondong melakukan riset dan penelitian untuk memperbaiki lagi dunia yang rusak akibat bencana tersebut. Kerusakan besar yang ditumbulkan, membuat mereka mulai menata ulang kembali peradaban manusia yang baru dengan menggunakan teknologi super canggih yang pernah ada. Robot-robot yang dapat bergerak cepat tanpa memerlukan tenaga yang besar, kini diturunkan di segala aspek untuk membantu memperbaiki kerusakan tersebut.
Tidak lama sekitar 20 tahun setelah bencana besar, peradaban manusia tumbuh dengan pesat. Jauh berbeda bila dibanding peradaban sebelumnya. Dulu, di abad 21, manusia mengenal mobil sebagai alat transportasi darat, kin,i langit dipenuhi dengan AC atau Air Car berbagai bentuk karena di darat diperuntukkan hanya untuk pejalan kaki. Pesawat terbang tidak dipergunakan lagi karena ukurannya yang besar sedangkan gedung-gedung tinggi berdiri di mana-mana.
Manusia pun tidak perlu bersusah payah lagi melakukan aktivitas berat karena segalanya diatur dengan mesin. Robot rumahan atau ‘House’s Robot’ yang dapat melakukan pekerjaan rumah seperti menyapu, memasak, mencuci dan sebagainya, diproduksi secara besar-besaran. Akibatnya, manusia menjadi malas bekerja. Pengangguran pun terjadi di mana-mana, karena pekerjaan yang mereka tempati telah memiliki robot canggih yang dapat menyelesaikan pekerjaan lebih cepat dibanding tenaga mereka. Kerusuhan dan peperangan tidak dapat dielakkan. Nuklir, senjata biologis, dan senjata mematikan lainnya sudah tidak tabu lagi. Banyak pemerintah Negara yang menggunakannya dengan alasan pertahanan negara. Perkembangan yang pesat ternyata tak sejalan dengan perdamaiannya.
***
New York City, AS 2045
“Apa?” suara Karla terasa tercekat ketika mengatakan kata itu. Perasaan kecewa dan takut seketika menjadi satu, berkumpul di dadanya yang kian menyesakkan. Ia tatap lagi para ilmuan yang berdiri di depannya untuk meyakinkan apa yang telah mereka katakan tadi. Hanya sebagian yang memerhatikan, sebagian lain sibuk memeriksa sebuah cocoon atau kapsul mirip kepompong yang rencananya akan digunakan tentara Amerika untuk berperang. Pesawat tempur model baru, tetapi dapat digunakan di darat, udara, maupun laut. Bahannya pun sangat elastic sehingga tahan terhadap benturan keras.
Rencananya, cocoon ini akan diuji coba hari ini. Karla tidak menyangka kalau yang akan mencobanya adalah seseorang yang sangat dicintainya. Ia mungkin tidak akan sepusing ini jika yang melakukannya orang lain. Jujur, ia sangat benci yang namanya uji coba. Kesalahan sedikit pun akan berakibat fatal kepada orang yang akan ‘diujicobakan’.
Karla menatap sosok tampan di depannya, William. Kini ia sudah berganti pakaian, duduk di sebuah tempat khusus penuh kabel-kabel beraliran listrik. Ia sedang di-cek up sebelum masuk ke dalam cocoon tersebut. Ingin rasanya Karla mengamuk di tempat itu, tapi ia tahu Will tidak akan menyukai hal itu. Dia sangat mencintai pekerjaannya. Karla sendiri tidak tahu apakah penelitian itu lebih dicintainya daripada dirinya.
Mereka telah lama saling kenal, setelah lima tahun bekerja sama di tempat itu. Mereka sudah  berencana menikah setahun lalu tetapi selalu gagal dikarenakan penelitian itu. Karla selalu bersabar. Ia paham akan pentingnya pekerjaan William. Pekerjaannya juga. Karla pura-pura sibuk melihat kertas-kertas di atas mejanya ketika melihat Will berjalan ke arahnya.
Seakan membaca pikirannya, Will menggenggam tangan Karla, “Karla, kamu percaya sama aku?”. Karla menghembuskan nafas berat, lalu manatap Will sambil mengangguk pasti.
“You trust me?” William sengaja mengulanginya. Ia memang selalu seperti itu. Menurutnya anggukan kepala bukanlah sebuah jawaban yang pasti. Dan meyakinkan.
“Iya, William,”
Willian tersenyum puas. Ia kemudian pergi ke ruang cocoon setelah mencium kening Karla. Gadis itu hanya tersenyum, berusaha menyembunyikan kekhawatirannya. Di balik kaca ia melihat Will masuk ke dalam kapsul berwarna hitam itu.
Bunyi mesin power yang dinyalakan cukup membuat hati Karla berdegup kencang. Sambil menutup mata, Ia berharap tidak terjadi apa-apa menjelang pernikahannya sebulan lagi. Tidak lagi, setelah dua kali mengalami kegagalan. Karla membuka matanya ketika mendengar suara riuh tepuk tangan dan goraian dari orang-orang disekitarnya.
Di sana, di dalam ruangan yang luas, ia melihat Will terbang kian kemari menyalakan beberapa senjata mematikan dari dalam kapsul itu. Karla tersenyum. Proyek lima tahun itu berhasil. Ia pasti sangat bangga.
Will akhirnya keluar dari cocoon dan langsung menemui Karla.
“Look, everything’s gonna turn out fine,” katanya sambil tertawa. “Okey?” tanyanya lagi berusaha membuat gadis itu jengkel. Karla hanya mengacak rambutnya pelan. Ia masih terbawa suasana.
Dalam perjalanan pulang, Karla memperhatikan Will yang duduk di sebelahnya. Ia seharusnya percaya sepenuhnya kepada Will. Lima tahun seharusnya cukup membuatnya percaya. Mungkin ia terlalu mengkhawatirkannya. Will yang melihat tatapan Karla langsung mengedipkan matanya.
“I trust you,” Karla berbisik. Lelaki itu tersenyum, “Kamu ngak nangis, kan?” godanya lagi.
Sambil tertawa pelan, Karla mencium keningnya. “Enggak, Will.”
“Good. That’s my girl.”
Will merangkul gadis itu. Ia tahu gadis itu telah bersabar menunggunya. Kali ini, ia tidak akan membuatnya menunggu lagi. Ya, sebulan lagi ia pasti akan menetapi janjinya. William sangat menyayanginya.