Penulis : Morra Quatro
“Apa?” tanyaku dengan suara pelan sekaligus bingung karena tidak
menyimak percakapannya.
Will tiba-tiba diam. Ia
berhenti, dan menundukkan wajahnya kepadaku.
“Karla, kamu percaya sama aku?”
Waktu kecil, aku pernah punya
boneka Barbie. Papa membelikannya, tapi tak lama kemudian aku meninggalkannya
karena Barbie hanya bisa berganti baju dan piknik, tidak terbang atau berjalan
sendiri seperti helicopter dan kereta api yang kemudian ku-request sendiri pada
papa. Itu adalah Barbie edisi pertama yang dijual di Indonesia. Barbie-ku
rambutnya pirang, besar bervolume, dengan mata biru yang indah. Aku suka
menatap matanya, tak habis pikir adakah orang yang punya mata biru seperti itu.
Tapi, betapa pun indah dan birunya mata Barbie-ku, keduanya tidak bersinar. Tak
bisa dirasakan kehidupan dari sana sedekat apa pun aku menatapnya.
Rasanya nyaris seperti itu
ketika kuangkat wajah menatap kedua mata Will saat ini.
“You trust me?” ia mengulang
pertanyaannya.
“Iya, William,” jawabku,
langsung merasa bersalah karena tidak mendengarkannya.
“Look, everything’s gonna turn
out fine,” ujarnya, berbisik. “okay?”
Will harus sembuh sebelum
berangkat ke Brussel. Tak ada yang bisa kulakukan untuk itu. Tapi aku bisa
membuatnya senang.
“I trust you,” kataku.
Will lalu mengangkat tangannya,
menyentuh pipiku. “Kamu ngak nangis, kan?”
“Engak, Will.”
Ia merabanya, pelan, dan aku
berdiri tegak mematung, piring cake terangkat di tangan kanan. Tidak ia temukan
air mata di sana. Aku lega meskipun rasanya itu pasti terjadi kalau aku
berkedip satu kali saja. Ibu jarinya turun mengikuti lekuk pipiku. Lalu ia
berhenti, menemukan sehelai bulu mata yang jatuh di sana (sempat-sempatnya,
bisa-bisanya dia tidak melewatkan satu detail pun), dan mengambilnya.
“Good. That’s my girl.”
Will memang tidak pernah menjadi
juara kelas. Tapi dia anak yang cerdas. Aku yakin, pasti ia akan menjadi
seseorang yang hebat saat dewasa kelak. Dengan atau tanpa Nobel Fisika itu.
Lalu aku berjanji dalam hati.
Ucapku, apabila Tuhan mengembalikan segalanya seperti sedia kala, dan semuanya
baik-baik saja setelah ini, maka aku akan memberikan apa pun yang bisa kuberi
untuk Will.
***
SETELAH DIREMIX...
Setelah terjadinya gempa besar di akhir abad 21, para ilmuan dan
peneliti di seluruh dunia berbondong-bondong melakukan riset dan penelitian
untuk memperbaiki lagi dunia yang rusak akibat bencana tersebut. Kerusakan
besar yang ditumbulkan, membuat mereka mulai menata ulang kembali peradaban
manusia yang baru dengan menggunakan teknologi super canggih yang pernah ada.
Robot-robot yang dapat bergerak cepat tanpa memerlukan tenaga yang besar, kini
diturunkan di segala aspek untuk membantu memperbaiki kerusakan tersebut.
Tidak lama sekitar 20 tahun setelah bencana besar, peradaban manusia
tumbuh dengan pesat. Jauh berbeda bila dibanding peradaban sebelumnya. Dulu, di
abad 21, manusia mengenal mobil sebagai alat transportasi darat, kin,i langit
dipenuhi dengan AC atau Air Car berbagai bentuk karena di darat
diperuntukkan hanya untuk pejalan kaki. Pesawat terbang tidak dipergunakan lagi
karena ukurannya yang besar sedangkan gedung-gedung tinggi berdiri di
mana-mana.
Manusia pun tidak perlu bersusah payah lagi melakukan aktivitas
berat karena segalanya diatur dengan mesin. Robot rumahan atau ‘House’s Robot’ yang dapat melakukan
pekerjaan rumah seperti menyapu, memasak, mencuci dan sebagainya, diproduksi
secara besar-besaran. Akibatnya, manusia menjadi malas bekerja. Pengangguran
pun terjadi di mana-mana, karena pekerjaan yang mereka tempati telah memiliki
robot canggih yang dapat menyelesaikan pekerjaan lebih cepat dibanding tenaga
mereka. Kerusuhan dan peperangan tidak dapat dielakkan. Nuklir, senjata
biologis, dan senjata mematikan lainnya sudah tidak tabu lagi. Banyak
pemerintah Negara yang menggunakannya dengan alasan pertahanan negara.
Perkembangan yang pesat ternyata tak sejalan dengan perdamaiannya.
***
New York City, AS 2045
“Apa?” suara Karla terasa tercekat ketika mengatakan kata itu.
Perasaan kecewa dan takut seketika menjadi satu, berkumpul di dadanya yang kian
menyesakkan. Ia tatap lagi para ilmuan yang berdiri di depannya untuk
meyakinkan apa yang telah mereka katakan tadi. Hanya sebagian yang memerhatikan,
sebagian lain sibuk memeriksa sebuah cocoon
atau kapsul mirip kepompong yang rencananya akan digunakan tentara Amerika untuk
berperang. Pesawat tempur model baru, tetapi dapat digunakan di darat, udara,
maupun laut. Bahannya pun sangat elastic sehingga tahan terhadap benturan
keras.
Rencananya, cocoon ini akan diuji coba hari ini. Karla tidak
menyangka kalau yang akan mencobanya adalah seseorang yang sangat dicintainya.
Ia mungkin tidak akan sepusing ini jika yang melakukannya orang lain. Jujur, ia
sangat benci yang namanya uji coba. Kesalahan sedikit pun akan berakibat fatal
kepada orang yang akan ‘diujicobakan’.
Karla menatap sosok tampan di depannya, William. Kini ia sudah berganti
pakaian, duduk di sebuah tempat khusus penuh kabel-kabel beraliran listrik. Ia
sedang di-cek up sebelum masuk ke dalam cocoon
tersebut. Ingin rasanya Karla mengamuk di tempat itu, tapi ia tahu Will tidak
akan menyukai hal itu. Dia sangat mencintai pekerjaannya. Karla sendiri tidak
tahu apakah penelitian itu lebih dicintainya daripada dirinya.
Mereka telah lama saling kenal, setelah lima tahun bekerja sama di
tempat itu. Mereka sudah berencana menikah
setahun lalu tetapi selalu gagal dikarenakan penelitian itu. Karla selalu
bersabar. Ia paham akan pentingnya pekerjaan William. Pekerjaannya juga. Karla
pura-pura sibuk melihat kertas-kertas di atas mejanya ketika melihat Will
berjalan ke arahnya.
Seakan membaca pikirannya, Will menggenggam tangan Karla, “Karla,
kamu percaya sama aku?”. Karla menghembuskan nafas berat, lalu manatap Will
sambil mengangguk pasti.
“You trust me?” William sengaja mengulanginya. Ia memang selalu
seperti itu. Menurutnya anggukan kepala bukanlah sebuah jawaban yang pasti. Dan
meyakinkan.
“Iya, William,”
Willian tersenyum puas. Ia kemudian pergi ke ruang cocoon setelah mencium kening Karla.
Gadis itu hanya tersenyum, berusaha menyembunyikan kekhawatirannya. Di balik
kaca ia melihat Will masuk ke dalam kapsul berwarna hitam itu.
Bunyi mesin power yang dinyalakan cukup membuat hati Karla berdegup
kencang. Sambil menutup mata, Ia berharap tidak terjadi apa-apa menjelang
pernikahannya sebulan lagi. Tidak lagi, setelah dua kali mengalami kegagalan.
Karla membuka matanya ketika mendengar suara riuh tepuk tangan dan goraian dari
orang-orang disekitarnya.
Di sana, di dalam ruangan yang luas, ia melihat Will terbang kian
kemari menyalakan beberapa senjata mematikan dari dalam kapsul itu. Karla
tersenyum. Proyek lima tahun itu berhasil. Ia pasti sangat bangga.
Will akhirnya keluar dari cocoon
dan langsung menemui Karla.
“Look, everything’s gonna turn out fine,” katanya sambil tertawa.
“Okey?” tanyanya lagi berusaha membuat gadis itu jengkel. Karla hanya mengacak
rambutnya pelan. Ia masih terbawa suasana.
Dalam perjalanan pulang, Karla memperhatikan Will yang duduk di
sebelahnya. Ia seharusnya percaya sepenuhnya kepada Will. Lima tahun seharusnya
cukup membuatnya percaya. Mungkin ia terlalu mengkhawatirkannya. Will yang
melihat tatapan Karla langsung mengedipkan matanya.
“I trust you,” Karla berbisik. Lelaki itu tersenyum, “Kamu ngak
nangis, kan?” godanya lagi.
Sambil tertawa pelan, Karla mencium keningnya. “Enggak, Will.”
“Good. That’s my girl.”
Will merangkul gadis itu. Ia tahu gadis itu telah bersabar
menunggunya. Kali ini, ia tidak akan membuatnya menunggu lagi. Ya, sebulan lagi
ia pasti akan menetapi janjinya. William sangat menyayanginya.