“Raya,
kapan kamu pulang? Ibu sangat merindukanmu, Nak...” Suara seorang perempuan di
ujung telepon itu membuat hati Raya seperti teriris.
“Insya Allah Bu, kalau Raya dan
suami ada rejeki, pasti Raya pulang..” jawab perempuan berusia tiga puluh lima
tahun itu.
Raya menghela nafas panjang setelah
mengakhiri pembicaraan telepon itu. Diusapnya air mata yang keluar dengan sapu
tangannya. Akhir-akhir ini ia lebih sering menangis tatkala menerima telepon
dari ibunya. Rasa rindu yang teramat dalam dirasakannya kepada ibu dan tanah
kelahirannya sudah tak terbendung lagi.
Saat ini ia berada jauh berpuluh
kilometer dari tanah kelahirannya. Raya sendiri tidak pernah menyangka akan
tinggal bahkan menikah dengan pria asing di negeri sakura ini. Semula Raya
hanya berencana tinggal setahun dua tahun di Kyoto, Jepang untuk melanjutkan
pendidikan S2-nya. Kemudian tak disangka ia mendapatkan pekerjaan tetap di
sana, bertemu dengan Ken, dan menikah dengannya.
Pada awalnya Raya sangat bahagia tetapi
lama kelamaan, setelah sepuluh tahun di Kyoto, rasa rindu akan keluarga dan
kampung halamannya tumbuh subur di dalam hatinya. Rindu yang seharusnya dapat
terobati dengan kehadiran Ishiguro Ken, suaminya, dan putra lelakinya, Ishiguro
Tim. Rasa rindu yang mungkin dialami oleh setiap orang yang berada jauh dari
rumahnya..
***
“Mutiara
akan selalu dicari meski berada di tempat terdalam sekalipun.”
Kalimat itu masih terngiang
di benak Raya meski sudah empat tahun terucap dari mulut ibunya. Raya tersenyum mengingat
itu. Di tangannya tergenggam secarik kertas berisi berita kelulusannya
mendapatkan beasiswa S2 di Jepang. Negeri yang sangat mempesonanya. Negeri
impiannya. Disimpannya surat itu
baik-baik dan bersiap pulang. Tak sabar ia ingin memberitahukan kabar gembira
ini kepada ibunya.
***
“Kamu mau pergi meninggalkan ibu,
Raya?” Suara ibu terasa serak dan gemetar. Menggetarkan hatiku yang sudah
terlanjur berbunga-bunga.
Aku
tertunduk. Tak sanggup membalas tatapan teduh ibuku. Seketika puncak semangat
yang sedari tadi terbangun tinggi menjulang, sedikit demi sedikit runtuh ke
tanah. Dan itu sangat menyakitkan.
“Kamu itu perempuan, Raya. Anak
perempuan ibu satu-satunya. Kamu mau ke Jepang? Kamu mau tinggal sama siapa di
sana?...” Bertubi-tubi ibu memberikan pertanyaan yang sudah pasti membuat
benteng pertahananku semakin rapuh. Kurasakan air mataku jatuh membasahi pipi.
Tanganku terasa dingin seperti balok es.
Tapi
keinginanku sudah bulat, Bu. Izinkan aku mencoba kesempatan ini, batinku.
Dengan helaan nafas berat, kumantapkan niatku. Bismillah..
“Bu, ini cita-cita Raya. Ibu tahu
kan, Raya sudah berjuang sampai sejauh ini. Bu.. izinkan Raya mencoba sekali
ini saja. Raya janji akan pulang, Bu. Demi masa depan Raya..” Kegenggam jemari
ibu yang juga terasa dingin. Kuyakinkan ibu semampuku.
Lama ibu tak memberikan jawabannya.
Rumahku menjadi sunyi. Kutundukkan kepalaku setelah menunggu jawaban ibu yang
tak kunjung keluar. Takkan ada lagi harapan. Tidak ada S2. Tidak ada Jepang...
“Kau boleh pergi, Raya. Kejarlah
cita-citamu. Tetapi berjanjilah.. berjanjilah Kau akan pulang dan tak berubah
sedikit pun terhadap ibu..” suara ibu tiba-tiba mengagetkanku. Kutatap ibu tak
percaya. Aura keibuannya terpancar dari wajahnya yang renta. Wajah yang sama
kudapatkan ketika suatu malam nanti, tiga atau empat tahun mendatang, ketika
kulakukan hal yang sama di depannya saat kuutarakan maksud Ken untuk melamarku.
“Terima kasih, Bu.. Raya janji..”
***
Seperti
janjiku pada ibu, setiap minggu kusempatkan waktu untuk menelponnya. Biasanya
ibu lebih banyak bercerita dibandingku. Aku maklum. Mungkin dia ingin mengusir
kesepiannya di rumah semenjak kepergian papa tiga tahun yang lalu.
Sebenarnya aku tak tega meninggalkan
ibu sendirian. Aku yang kini telah bekerja di salah satu perusahaan di Kyoto,
mendesak ibu untuk tinggal bersamaku. Tetapi ibu menolak dengan alasan tidak
ingin meninggalkan rumah kenangannya bersama papa. Janjiku untuk kembali ke
Indonesia tak bisa kulaksanakan lantaran undangan bekerja di perusahaan ternama
di sana. Aku tahu ibu pasti kecewa. Tetapi sekali lagi, aku tak mampu menolak
kesempatan yang terbuka lebar di depanku. Toh, semua ini kulakukan demi ibu.
Saat ini pukul tujuh malam waktu
Kyoto. Ibu masih bercerita di ujung sana padahal di Indonesia sudah jam
sembilan malam.
“Raya, kapan kamu pulang? Ibu sangat
merindukanmu, Nak..” tanya ibu, lagi.
Aku mendesah. Lagi-lagi pertanyaan
itu. “Insya Allah kalau Raya punya rejeki, pasti Raya pulang” jawabku.
“Oke.. hati-hati ya di sana..” kata
ibu mengakhiri pembicaraan kami. Kuhela nafas dalam sambil melirik jam dinding.
Sudah saatnya pulang.
Suasana
kantor sudah mulai sepi. Kulangkahkan kakiku dengan cepat ke arah lift. Hanya
ada seorang pria, mungkin berusia dua puluh tujuh tahun, yang berada di lift.
Tanpa pikir panjang, aku berhambur masuk ke dalam.
Lelaki
itu sepertinya heran melihat penampilanku,
seorang perempuan berjilbab, di sebuah perusahaan ternama di Kyoto.
“Sumimasen1, anda seorang
muslim?” tanyanya.
Aku
mendongak. “Hai2, saya
seorang muslim”.
“Hajimemashite, watashi wa Ishiguro Ken desu.
Dozo yoroshiku3” katanya memperkenalkan diri sambil menunduk
sembilan puluh derajat.
“Ha.. Hajimemashite, watashi wa Soraya
Sulaiman desu. Dozo yoroshiku”
kataku sambil melakukan hal serupa. Ishiguro Ken mengernyit.
“Hai,
watashi wa Indonesia-jin desu4” kataku menjelaskan. Kukira lelaki
ini dapat menebaknya seperti teman-temanku lainnya. Kulitku berwarna kuning
langsat bila dibandingkan kulit orang Jepang yang berwarna putih, ditambah
kedua mataku yang besar.
“Ooh..
So nan desu ka5?”
“Hai,
So desu6” kataku
meyakinkan. Tanpa sengaja tatapan kami bertemu. Matanya, meskipun sipit,
terlihat sangat teduh. Selama beberapa detik, aku terpesona melihatnya. Entah
mengapa, tiba-tiba jantungku berdebar diiringi perasaan aneh yang muncul.
Lelaki itu tersenyum. Buru-buru kualihkan pandanganku ke arah pintu lift,
berharap cepat terbuka.
Untunglah,
pintu lift terbuka dan dengan segera kulangkahkan kakiku keluar. Ingin rasanya
aku berlari keluar untuk menenangkan jantungku yang tiba-tiba berdetak keras
ini sebelum kudengar Ken berkata, “ Raya-san7
semoga kita bisa bertemu lagi. Selamat malam, Assalamualaikum..”
“Konbanwa8.. waalaikumsalam..”
kataku mematung. Kulihat Ken pergi sampai menghilang diantara kerumunan orang
berlalu lalang. Tanpa sadar kupegang dadaku, berusaha menghentikan debaran
jantung yang sudah sedari tadi bertabuh. Kurasakan helaan nafasku yang berat.
Baru kusadari senyum lelaki itu sangat manis. Astagfirullah, apa yang kau pikirkan Raya? Raya tersentak. Ya
Allah.. Apakah mungkin...
***
“Seperti apa lelaki itu?” tanya ibu
sambil mengusap kepalaku pelan. Matanya menatap lurus ke depan. Entah apa yang
ada di benaknya saat ini.
“Orangnya
baik, Bu. Alhamdulillah, dia muslim. Namanya Ishiguro Ken..” kuterangkan segala
hal yang kuketahui tentang lelaki itu.
Sekitar
sebulan setelah pertemuannya dengan Ken, tiba-tiba saja direktur utama, Tuan
Kimura, memanggil Raya dan memberitahukan maksud Ken yang ternyata adalah teman
koleganya, untuk meminangnya. Tentu
saja Raya kaget setengah mati mendengar perkataan bosnya. Selama ini
belum ada lelaki yang pernah memintanya untuk dijadikan seorang istri. Sekarang
ketika ada seorang lelaki yang memintanya, ternyata seseorang yang sangat
berbeda latar belakangnya dan tentu saja budayanya. Tapi jodoh siapa yang tahu?
“Tetapi
dia orang Jepang, kan? Maksud Ibu dia asli orang sana kan...” kalimat ibu
menggantung. Aku terdiam maklum. Mungkin ibu tak rela melepaskanku untuk yang
kedua kalinya lagi.
Aku
yang menjadi satu-satunya anak ibu tentu sangat sulit untuk dilepaskannya. Aku memeluk ibu erat. Aku sangat merindukannya. Aku
sadar aku terlalu sibuk bekerja di Kyoto. Tapi di sisi lain, ada perasaan aneh
yang muncul yang tidak bisa kupungkiri.
Ya, Allah.. tolong berikan hamba jalan yang terbaik..
Tetapi
bukan seorang ibu namanya jika tidak mengetahui apa yang dipikirkan anaknya.
Esok harinya, tiba-tiba ibu memanggilku. Dengan lembut beliau membelai rambutku
dan berkata, “ Kalau Kau memang menyukainya, menikahlah dengannya. Ibu ridho..”
Aku menatap ibu tak percaya, beliau tersenyum, lalu katanya, “ Kau sudah besar,
Raya. Kau berhak memilih. Ibu tahu kalau kau juga menyukai lelaki itu. Dari
tatapan matamu ketika Kau membicarakannya..”
Aku tertunduk malu. Penglihatanku menjadi kabur karena
air mata yang mulai tergenang.
“ Ibu sayang Kamu. Ibu tahu ini adalah saatnya untuk
melepaskan anak ibu. Kalau Kau sudah memiliki anak nanti, suatu saat Kau pasti
juga akan mengalami hal seperti ini..” Suara ibu terdengar serak. Kutarik ibu
ke dalam pelukanku. “Ibu,
Raya sayang Ibu…”
***
Kyoto
adalah ibu kota dari Prefektur Kyoto, terletak di pulau Honshu, Jepang. Saat pertama kali Raya datang ke Kyoto, ia langsung
jatuh cinta pada kota ini. Kota Kyoto bersalju pada musim dingin, bunga-bungan
bermekaran indah di musim semi, cuaca hangat di musim panas, dan daun-daun berwarna warni memeriahkannya di musim gugur.
Kyoto semakin indah dengan sungai Kamogawa di sebelah timur dan sungai Katsura
di sebelah selatannya.
Setelah
sepuluh tahun ia menikah dan tinggal di Kyoto bersama
Ken, mereka dikaruniai seorang anak bernama Ishiguro
Tim. Selama itu pula Raya tidak pernah pulang menjenguk ibunya. Raya ingin,
tetapi Ken terlalu sibuk sehingga tidak ada waktu untuk pergi menjenguk ibunya,
apalagi ternyata Ken tidak mengizinkan Raya untuk bepergian sendiri.
“ Perempuan itu kalau mau pergi harus
seizin suaminya, Raya” Nasihat
ibunya terngiang setiap kali Raya menangis mengadu kepadanya. Raya baru tahu kalau Ken adalah seorang workhaholic sehingga tidak ada waktu baginya untuk bepergian jauh.
Orang Jepang terkenal sangat disiplin dalam bekerja.
“Itukan sudah pilihanmu Raya, Kamu harus
berbakti sama suamimu. Kamu bukan anak ibu lagi..” Lagi-lagi kata-kata
ibunya terngiang.
Tapi Raya ingin pulang, Bu..
***
Raya, Ibu meninggal. Pulanglah..
Kata-kata Mas Surya siang
itu meruntuhkan semua pertahanan Raya. Telepon genggam yang dipegangnya
bergetar. Setetes demi tetes air mata jatuh membasahi wajahnya. Setumpuk
penyesalan tiba-tiba saja menyelimuti perempuan muda itu. Ya, Raya menyesal dia
tak sempat menjenguk ibunya, tak sempat membahagiakannya, dan meminta maaf
padanya! Raya tak percaya bahwa pembicaraannya semalam adalah pembicaraan
terakhirnya dengan ibunya. Raya tak percaya...
Kring..kring..kring.., suara dering
nada handphone mengagetkan perempuan
yang sedang berduka itu. Dilihatnya nama kontak yang memanggilnya, dari Ken. Oh
iya, Raya belum memberitahukan kabar duka ini.
“ Moshi-moshi9.. hai,
saya sendiri..” katanya. Suara di ujung telepon sana ternyata bukan dari
Ken.
“Maaf, Kami dari kepolisian Kyoto,
ingin mengabarkan bahwa Ishiguro Ken-san
baru saja mengalami kecelakaan. Korban saat ini berada.....”
Raya termenung. Handphone di tangannya dibiarkan jatuh begitu saja ke lantai. Dia
terduduk lemas. Perempuan itu sudah tak sanggup lagi mendengarkan kabar duka
untuk yang kedua kalinya. Bahkan, ia tak
tahu apakah menangis adalah satu-satunya hal yang bisa dilakukannya saat ini.
Tiba-tiba Raya tersentak. Ia
teringat Tim, pangeran kecilnya. Hati Raya hancur, dia tak tahu bagaimana
mengatakannya pada anak itu. Tim yang tidak akan pernah sempat bertemu dengan
neneknya itu kini juga harus kehilangan ayahnya...
Keterangan:
1. Sumimasen : Permisi (digunakan untuk meminta perhatian
seseorang)
2. Hai : Iya
3. Hajimemashite, watashi wa
Ishiguro Ken desu. Dozo yoroshiku : Apa kabar?
Saya Ishiguro Ken. Senang bisa berkenalan dengan anda.
4. watashi wa Indonesia-jin
desu : Saya orang
Indonesia.
5. So nan desu ka : Begitukah?
6. So desu : Ya, begitulah.
7. –san : Sebuah akhiran penghormatan yang ditambahkan pada
nama panggilan)
8. Konbanwa : Selamat malam
9. Moshi-moshi : Halo