Kamis, 01 Agustus 2013

Antara Jakarta dan Kyoto



“Raya, kapan kamu pulang? Ibu sangat merindukanmu, Nak...” Suara seorang perempuan di ujung telepon itu membuat hati Raya seperti teriris.
            “Insya Allah Bu, kalau Raya dan suami ada rejeki, pasti Raya pulang..” jawab perempuan berusia tiga puluh lima tahun itu.  
            Raya menghela nafas panjang setelah mengakhiri pembicaraan telepon itu. Diusapnya air mata yang keluar dengan sapu tangannya. Akhir-akhir ini ia lebih sering menangis tatkala menerima telepon dari ibunya. Rasa rindu yang teramat dalam dirasakannya kepada ibu dan tanah kelahirannya sudah tak terbendung lagi.
            Saat ini ia berada jauh berpuluh kilometer dari tanah kelahirannya. Raya sendiri tidak pernah menyangka akan tinggal bahkan menikah dengan pria asing di negeri sakura ini. Semula Raya hanya berencana tinggal setahun dua tahun di Kyoto, Jepang untuk melanjutkan pendidikan S2-nya. Kemudian tak disangka ia mendapatkan pekerjaan tetap di sana, bertemu dengan Ken, dan menikah dengannya.
            Pada awalnya Raya sangat bahagia tetapi lama kelamaan, setelah sepuluh tahun di Kyoto, rasa rindu akan keluarga dan kampung halamannya tumbuh subur di dalam hatinya. Rindu yang seharusnya dapat terobati dengan kehadiran Ishiguro Ken, suaminya, dan putra lelakinya, Ishiguro Tim. Rasa rindu yang mungkin dialami oleh setiap orang yang berada jauh dari rumahnya..
***
            “Mutiara akan selalu dicari meski berada di tempat terdalam sekalipun.”
            Kalimat itu masih terngiang di benak Raya meski sudah empat tahun terucap dari mulut ibunya. Raya tersenyum mengingat itu. Di tangannya tergenggam secarik kertas berisi berita kelulusannya mendapatkan beasiswa S2 di Jepang. Negeri yang sangat mempesonanya. Negeri impiannya. Disimpannya surat itu baik-baik dan bersiap pulang. Tak sabar ia ingin memberitahukan kabar gembira ini kepada ibunya.
***
            “Kamu mau pergi meninggalkan ibu, Raya?” Suara ibu terasa serak dan gemetar. Menggetarkan hatiku yang sudah terlanjur berbunga-bunga.  
Aku tertunduk. Tak sanggup membalas tatapan teduh ibuku. Seketika puncak semangat yang sedari tadi terbangun tinggi menjulang, sedikit demi sedikit runtuh ke tanah. Dan itu sangat menyakitkan.
            “Kamu itu perempuan, Raya. Anak perempuan ibu satu-satunya. Kamu mau ke Jepang? Kamu mau tinggal sama siapa di sana?...” Bertubi-tubi ibu memberikan pertanyaan yang sudah pasti membuat benteng pertahananku semakin rapuh. Kurasakan air mataku jatuh membasahi pipi. Tanganku terasa dingin seperti balok es.
            Tapi keinginanku sudah bulat, Bu. Izinkan aku mencoba kesempatan ini, batinku. Dengan helaan nafas berat, kumantapkan niatku. Bismillah..
            “Bu, ini cita-cita Raya. Ibu tahu kan, Raya sudah berjuang sampai sejauh ini. Bu.. izinkan Raya mencoba sekali ini saja. Raya janji akan pulang, Bu. Demi masa depan Raya..” Kegenggam jemari ibu yang juga terasa dingin. Kuyakinkan ibu semampuku.
            Lama ibu tak memberikan jawabannya. Rumahku menjadi sunyi. Kutundukkan kepalaku setelah menunggu jawaban ibu yang tak kunjung keluar. Takkan ada lagi harapan. Tidak ada S2. Tidak ada Jepang...
            “Kau boleh pergi, Raya. Kejarlah cita-citamu. Tetapi berjanjilah.. berjanjilah Kau akan pulang dan tak berubah sedikit pun terhadap ibu..” suara ibu tiba-tiba mengagetkanku. Kutatap ibu tak percaya. Aura keibuannya terpancar dari wajahnya yang renta. Wajah yang sama kudapatkan ketika suatu malam nanti, tiga atau empat tahun mendatang, ketika kulakukan hal yang sama di depannya saat kuutarakan maksud Ken untuk melamarku. “Terima kasih, Bu.. Raya janji..”
***
Seperti janjiku pada ibu, setiap minggu kusempatkan waktu untuk menelponnya. Biasanya ibu lebih banyak bercerita dibandingku. Aku maklum. Mungkin dia ingin mengusir kesepiannya di rumah semenjak kepergian papa tiga tahun yang lalu.
            Sebenarnya aku tak tega meninggalkan ibu sendirian. Aku yang kini telah bekerja di salah satu perusahaan di Kyoto, mendesak ibu untuk tinggal bersamaku. Tetapi ibu menolak dengan alasan tidak ingin meninggalkan rumah kenangannya bersama papa. Janjiku untuk kembali ke Indonesia tak bisa kulaksanakan lantaran undangan bekerja di perusahaan ternama di sana. Aku tahu ibu pasti kecewa. Tetapi sekali lagi, aku tak mampu menolak kesempatan yang terbuka lebar di depanku. Toh, semua ini kulakukan demi ibu.
            Saat ini pukul tujuh malam waktu Kyoto. Ibu masih bercerita di ujung sana padahal di Indonesia sudah jam sembilan malam.
            “Raya, kapan kamu pulang? Ibu sangat merindukanmu, Nak..” tanya ibu, lagi.
            Aku mendesah. Lagi-lagi pertanyaan itu. “Insya Allah kalau Raya punya rejeki, pasti Raya pulang” jawabku.
            “Oke.. hati-hati ya di sana..” kata ibu mengakhiri pembicaraan kami. Kuhela nafas dalam sambil melirik jam dinding. Sudah saatnya pulang.
Suasana kantor sudah mulai sepi. Kulangkahkan kakiku dengan cepat ke arah lift. Hanya ada seorang pria, mungkin berusia dua puluh tujuh tahun, yang berada di lift. Tanpa pikir panjang, aku berhambur masuk ke dalam.
Lelaki itu sepertinya heran melihat penampilanku, seorang perempuan berjilbab, di sebuah perusahaan ternama di Kyoto.
Sumimasen1, anda seorang muslim?” tanyanya.
Aku mendongak. “Hai2, saya seorang muslim”.
Hajimemashite, watashi wa Ishiguro Ken desu. Dozo yoroshiku3” katanya memperkenalkan diri sambil menunduk sembilan puluh derajat.
Ha.. Hajimemashite, watashi wa Soraya Sulaiman desu. Dozo yoroshiku  kataku sambil melakukan hal serupa. Ishiguro Ken mengernyit.
 Hai, watashi wa Indonesia-jin desu4” kataku menjelaskan. Kukira lelaki ini dapat menebaknya seperti teman-temanku lainnya. Kulitku berwarna kuning langsat bila dibandingkan kulit orang Jepang yang berwarna putih, ditambah kedua mataku yang besar.
“Ooh.. So nan desu ka5?”
“Hai, So desu6” kataku meyakinkan. Tanpa sengaja tatapan kami bertemu. Matanya, meskipun sipit, terlihat sangat teduh. Selama beberapa detik, aku terpesona melihatnya. Entah mengapa, tiba-tiba jantungku berdebar diiringi perasaan aneh yang muncul. Lelaki itu tersenyum. Buru-buru kualihkan pandanganku ke arah pintu lift, berharap cepat terbuka.
Untunglah, pintu lift terbuka dan dengan segera kulangkahkan kakiku keluar. Ingin rasanya aku berlari keluar untuk menenangkan jantungku yang tiba-tiba berdetak keras ini sebelum kudengar Ken berkata, “ Raya-san7 semoga kita bisa bertemu lagi. Selamat malam, Assalamualaikum..”
Konbanwa8.. waalaikumsalam..” kataku mematung. Kulihat Ken pergi sampai menghilang diantara kerumunan orang berlalu lalang. Tanpa sadar kupegang dadaku, berusaha menghentikan debaran jantung yang sudah sedari tadi bertabuh. Kurasakan helaan nafasku yang berat. Baru kusadari senyum lelaki itu sangat manis. Astagfirullah, apa yang kau pikirkan Raya? Raya tersentak. Ya Allah.. Apakah mungkin...
***
            “Seperti apa lelaki itu?” tanya ibu sambil mengusap kepalaku pelan. Matanya menatap lurus ke depan. Entah apa yang ada di benaknya saat ini.       
“Orangnya baik, Bu. Alhamdulillah, dia muslim. Namanya Ishiguro Ken..” kuterangkan segala hal yang kuketahui tentang lelaki itu.
Sekitar sebulan setelah pertemuannya dengan Ken, tiba-tiba saja direktur utama, Tuan Kimura, memanggil Raya dan memberitahukan maksud Ken yang ternyata adalah teman koleganya, untuk meminangnya. Tentu saja Raya kaget setengah mati mendengar perkataan bosnya. Selama ini belum ada lelaki yang pernah memintanya untuk dijadikan seorang istri. Sekarang ketika ada seorang lelaki yang memintanya, ternyata seseorang yang sangat berbeda latar belakangnya dan tentu saja budayanya. Tapi jodoh siapa yang tahu?
“Tetapi dia orang Jepang, kan? Maksud Ibu dia asli orang sana kan...” kalimat ibu menggantung. Aku terdiam maklum. Mungkin ibu tak rela melepaskanku untuk yang kedua kalinya lagi.
Aku yang menjadi satu-satunya anak ibu tentu sangat sulit untuk dilepaskannya. Aku memeluk ibu erat. Aku sangat merindukannya. Aku sadar aku terlalu sibuk bekerja di Kyoto. Tapi di sisi lain, ada perasaan aneh yang muncul yang tidak bisa kupungkiri. Ya, Allah.. tolong berikan hamba jalan yang terbaik..
            Tetapi bukan seorang ibu namanya jika tidak mengetahui apa yang dipikirkan anaknya. Esok harinya, tiba-tiba ibu memanggilku. Dengan lembut beliau membelai rambutku dan berkata, “ Kalau Kau memang menyukainya, menikahlah dengannya. Ibu ridho..” Aku menatap ibu tak percaya, beliau tersenyum, lalu katanya, “ Kau sudah besar, Raya. Kau berhak memilih. Ibu tahu kalau kau juga menyukai lelaki itu. Dari tatapan matamu ketika Kau membicarakannya..”
Aku tertunduk malu. Penglihatanku menjadi kabur karena air mata yang mulai tergenang.
“ Ibu sayang Kamu. Ibu tahu ini adalah saatnya untuk melepaskan anak ibu. Kalau Kau sudah memiliki anak nanti, suatu saat Kau pasti juga akan mengalami hal seperti ini..” Suara ibu terdengar serak. Kutarik ibu ke dalam pelukanku. “Ibu, Raya sayang Ibu…”
***
            Kyoto adalah ibu kota dari Prefektur Kyoto, terletak di pulau Honshu, Jepang. Saat pertama kali Raya datang ke Kyoto, ia langsung jatuh cinta pada kota ini. Kota Kyoto bersalju pada musim dingin, bunga-bungan bermekaran indah di musim semi, cuaca hangat di musim panas, dan daun-daun berwarna warni memeriahkannya di musim gugur. Kyoto semakin indah dengan sungai Kamogawa di sebelah timur dan sungai Katsura di sebelah selatannya.
            Setelah sepuluh tahun ia menikah dan tinggal di Kyoto bersama Ken, mereka dikaruniai seorang anak bernama Ishiguro Tim. Selama itu pula Raya tidak pernah pulang menjenguk ibunya. Raya ingin, tetapi Ken terlalu sibuk sehingga tidak ada waktu untuk pergi menjenguk ibunya, apalagi ternyata Ken tidak mengizinkan Raya untuk bepergian sendiri.
            “ Perempuan itu kalau mau pergi harus seizin  suaminya, Raya” Nasihat ibunya terngiang setiap kali Raya menangis mengadu kepadanya. Raya baru tahu kalau Ken adalah seorang workhaholic sehingga tidak ada waktu baginya untuk bepergian jauh. Orang Jepang terkenal sangat disiplin dalam bekerja.
            “Itukan sudah pilihanmu Raya, Kamu harus berbakti sama suamimu. Kamu bukan anak ibu lagi..” Lagi-lagi kata-kata ibunya terngiang.
            Tapi Raya ingin pulang, Bu..
***
            Raya, Ibu meninggal. Pulanglah..
            Kata-kata Mas Surya siang itu meruntuhkan semua pertahanan Raya. Telepon genggam yang dipegangnya bergetar. Setetes demi tetes air mata jatuh membasahi wajahnya. Setumpuk penyesalan tiba-tiba saja menyelimuti perempuan muda itu. Ya, Raya menyesal dia tak sempat menjenguk ibunya, tak sempat membahagiakannya, dan meminta maaf padanya! Raya tak percaya bahwa pembicaraannya semalam adalah pembicaraan terakhirnya dengan ibunya. Raya tak percaya...
            Kring..kring..kring.., suara dering nada handphone mengagetkan perempuan yang sedang berduka itu. Dilihatnya nama kontak yang memanggilnya, dari Ken. Oh iya, Raya belum memberitahukan kabar duka ini.
            Moshi-moshi9.. hai, saya sendiri..” katanya. Suara di ujung telepon sana ternyata bukan dari Ken.
            “Maaf, Kami dari kepolisian Kyoto, ingin mengabarkan bahwa Ishiguro Ken-san baru saja mengalami kecelakaan. Korban saat ini berada.....”
            Raya termenung. Handphone di tangannya dibiarkan jatuh begitu saja ke lantai. Dia terduduk lemas. Perempuan itu sudah tak sanggup lagi mendengarkan kabar duka untuk yang kedua kalinya.  Bahkan, ia tak tahu apakah menangis adalah satu-satunya hal yang bisa dilakukannya saat ini.
            Tiba-tiba Raya tersentak. Ia teringat Tim, pangeran kecilnya. Hati Raya hancur, dia tak tahu bagaimana mengatakannya pada anak itu. Tim yang tidak akan pernah sempat bertemu dengan neneknya itu kini juga harus kehilangan ayahnya... 
Keterangan:
1.     Sumimasen : Permisi (digunakan untuk meminta perhatian seseorang)
2.     Hai : Iya
3.     Hajimemashite, watashi wa Ishiguro Ken desu. Dozo yoroshiku : Apa kabar? Saya Ishiguro Ken. Senang bisa berkenalan dengan anda.
4.     watashi wa Indonesia-jin desu : Saya orang Indonesia.
5.     So nan desu ka : Begitukah?
6.     So desu : Ya, begitulah.
7.     –san : Sebuah akhiran penghormatan yang ditambahkan pada nama panggilan)
8.     Konbanwa : Selamat malam
9.     Moshi-moshi : Halo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar