Minggu, 25 Maret 2012

Home Sweet Home; That's us!


“Auw!! Mbok pelan-pelan dong..” kataku. Mbok Biah yang sedang membersihkan luka-lukaku menghaluskan usapannya di wajahku. Luka-luka ini kudapatkan akibat tawuran melawan siswa Tunas Bangsa kemarin. Untung saja ayah tidak mengetahui hal ini.
            “Yah, Bang Dino sih, nakal banget. Berkelahi saja kerjanya…” jawab Mbak Biah.
            “Hehehe, aku memang ingin jadi seorang ahli karate Mbk..” jawabku sambil tersenyum.
            “Lah, kalau mau jadi begitu kenapa tidak sekolah di sekolah khusus olahraga?” Tanya Mbak Biah lagi. Aku tertawa dalam hati. Mana mungkin ayah mau mengizinkanku sekolah seperti itu? Ia sudah mentadirkanku untuk menjadi pewaris perusahaannya. Tidak ada kesempatan bagiku untuk melakukan sesuatu sekehendak hatiku. Aku meringis dalam hati.
            Tiba-tiba Pak Darus datang tergopoh-gopoh. Dari mukanya sudah kutebak sesuatu buruk terjadi. Pak Darus datang sambil membawa sepucuk surat. Dengan tangan bergetar, aku menerima surat tersebut yang akhirnya kuketahui surat itu dari pihak sekolah.
            Aku membacanya dengan seksama. Surat itu menuliskan bahwa aku telah dikeluarkan dari sekolah akibat kenakalanku yang dianggap sudah melewati batas. Tiba-tiba air mataku keluar. Aku menangis. Entah karena surat itu atau karena mengingat kedua orang tuaku. Saat itu, aku terus menangis membayangkan sikap ayahku nanti mengetahui ini semua.
            Malam itu aku tidak bernafsu makan. Aku lebih memilih berdiam diri di kamar ketimbang bermain PS bersama adikku. Entah adikku mengetahuinya atau tidak, tapi kayaknya dia tidak mau menggangguku untuk sementara waktu.
            Besoknya ayahku mengetahui kejadian itu. Mukanya memerah karena marah. Dengan sebuah rotan panjang di tangannya, dia mulai mekulku habis-habisan. Aku diam saja sambil menahan pukulan ayah.
            “Kamu mau jadi apa hah?? Mau jadi preman kamu? Kamu sangat memalukan keluarga!! Kamu..” Ayah tak mampu berkata apa-apa. Tangannya terus memukul punggungku. Ibu dan adikku hany melihatku. Mereka tak kuasa menolongku. Adikku terus menangis setiap kali ayah mencambukkan rotannya kepadaku. Di saat-saat seperti itu, tiba-tiba bel rumah berbunyi.
            Ibu membukakan pintu dan ternyata beberapa orang dari sekolah adikku datang. Mereka adalah kepala sekolah, wakil kapala sekolah, wali kelas adikku, dan seorang ibu setengah baya yang tidak kuketahui.  Begitu melihatnya, adikku langsung pucat pasi.
            Ayahku mempersilahkan mereka duduk. Setelah melalui basa basi yang cukup panjang, akhirnya mereka mengatakan maksud kedatangannya. Dan… Oh, tidak! Ternyata mereka mengatakan kalau adikku sudah mencuri uang kantin. Awalnya ayah dan ibuku tidak percaya tetapi setelah melihat rekaman kamera yang terdapat di kantin sekolah, akhirnya mereka mengakuinya. Di rekaman itu terlihat dengan sangat jelas bahwa adikku sedang mengambil uang di laci kantin.
            Ayah meminta maaf sebesar-besarnya kepada pihak sekolah dan segera mengganti jumlah uang yang dicuri adikku. Setelah berbicara sebentar dengan adikku, akhirnya mereka pulang. Kami pun di sidang malam itu. Ayah mulai mengambil rotannya dan memukulkannya pada adikku. Ibuku berusaha menghalangi tapi tetap saja tidak menyulutkan kemarahan ayah.
            “Ada apa dengan kalian?? Kalian ini benar-benar memalukan!!” teriak ayah marah. Adikku hanya diam ketika dipukul. Kuat juga dia dipukul sekeras itu.
            “Mas! Jangan seperti itu! Kasihan Dion.. dia masih kecil..” bela Ibu.
            “Biar saja! Biar mereka semua kapok!! Kamu mau apakan uang itu? Apa uang yang ayah beri tidak cukup??” Ayah mulai memukulkan rotan lagi.
            “Ayah!! Cukup!! Dion masih kecil! Ayah memang tidak pernah peduli!!” Kataku marah. Aku memeluk tubuh adikku. Ayah yang sudah terlanjur marah kembali memukulkan rotan ke arahku.
“Lihat! Anak-anakmu seperti ini karena kamu tidak pernah mengurusnya dengan baik!” teriak ayah pada ibu.
“Apa?? Kesalahan ibu?? Ini juga salah ayah! Ayah juga seharusnya ikut andil! Jangan menyalahkan ibu terus!!” Ibu membela diri. Entah mengapa tiba-tiba mereka bertengkar. Pertengkaran yang tidak pernah kami saksikan selama ini.
Di tengah pertengkaran itu, tiba-tiba adikku menangis. Dengan tersedu-sedu ia berkata,”Ja….jangan ber..tetete..tengkar… a..aku minta…. maaf…sebenarnya uang itu ingin kubelikan tiket untuk ayah dan ibu.. besok kompetisi caturku dimulai.. aku hanya ingin ayah dan ibu datang… semua kartuku sudah kujual tapi uangnya tidak cukup….”
Kasihan adikku. Mereka terlalu sibuk dengan urusan mereka sendiri sehingga tidak mengetahui kompetisinya. Ayah, ibu dan aku hanya diam mendengar penjelasannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar