“Auw!! Mbok
pelan-pelan dong..” kataku. Mbok Biah yang sedang membersihkan luka-lukaku
menghaluskan usapannya di wajahku. Luka-luka ini kudapatkan akibat tawuran
melawan siswa Tunas Bangsa kemarin. Untung saja ayah tidak mengetahui hal ini.
“Yah, Bang Dino sih, nakal banget.
Berkelahi saja kerjanya…” jawab Mbak Biah.
“Hehehe, aku memang ingin jadi
seorang ahli karate Mbk..” jawabku sambil tersenyum.
“Lah, kalau mau jadi begitu kenapa
tidak sekolah di sekolah khusus olahraga?” Tanya Mbak Biah lagi. Aku tertawa
dalam hati. Mana mungkin ayah mau mengizinkanku sekolah seperti itu? Ia sudah
mentadirkanku untuk menjadi pewaris perusahaannya. Tidak ada kesempatan bagiku
untuk melakukan sesuatu sekehendak hatiku. Aku meringis dalam hati.
Tiba-tiba Pak Darus datang
tergopoh-gopoh. Dari mukanya sudah kutebak sesuatu buruk terjadi. Pak Darus
datang sambil membawa sepucuk surat. Dengan tangan bergetar, aku menerima surat
tersebut yang akhirnya kuketahui surat itu dari pihak sekolah.
Aku membacanya dengan seksama. Surat
itu menuliskan bahwa aku telah dikeluarkan dari sekolah akibat kenakalanku yang
dianggap sudah melewati batas. Tiba-tiba air mataku keluar. Aku menangis. Entah
karena surat itu atau karena mengingat kedua orang tuaku. Saat itu, aku terus
menangis membayangkan sikap ayahku nanti mengetahui ini semua.
Malam itu aku tidak bernafsu makan.
Aku lebih memilih berdiam diri di kamar ketimbang bermain PS bersama adikku.
Entah adikku mengetahuinya atau tidak, tapi kayaknya dia tidak mau menggangguku
untuk sementara waktu.
Besoknya ayahku mengetahui kejadian
itu. Mukanya memerah karena marah. Dengan sebuah rotan panjang di tangannya,
dia mulai mekulku habis-habisan. Aku diam saja sambil menahan pukulan ayah.
“Kamu mau jadi apa hah?? Mau jadi
preman kamu? Kamu sangat memalukan keluarga!! Kamu..” Ayah tak mampu berkata
apa-apa. Tangannya terus memukul punggungku. Ibu dan adikku hany melihatku.
Mereka tak kuasa menolongku. Adikku terus menangis setiap kali ayah
mencambukkan rotannya kepadaku. Di saat-saat seperti itu, tiba-tiba bel rumah
berbunyi.
Ibu membukakan pintu dan ternyata
beberapa orang dari sekolah adikku datang. Mereka adalah kepala sekolah, wakil
kapala sekolah, wali kelas adikku, dan seorang ibu setengah baya yang tidak
kuketahui. Begitu melihatnya, adikku
langsung pucat pasi.
Ayahku mempersilahkan mereka duduk.
Setelah melalui basa basi yang cukup panjang, akhirnya mereka mengatakan maksud
kedatangannya. Dan… Oh, tidak! Ternyata mereka mengatakan kalau adikku sudah
mencuri uang kantin. Awalnya ayah dan ibuku tidak percaya tetapi setelah
melihat rekaman kamera yang terdapat di kantin sekolah, akhirnya mereka
mengakuinya. Di rekaman itu terlihat dengan sangat jelas bahwa adikku sedang
mengambil uang di laci kantin.
Ayah meminta maaf sebesar-besarnya
kepada pihak sekolah dan segera mengganti jumlah uang yang dicuri adikku.
Setelah berbicara sebentar dengan adikku, akhirnya mereka pulang. Kami pun di
sidang malam itu. Ayah mulai mengambil rotannya dan memukulkannya pada adikku.
Ibuku berusaha menghalangi tapi tetap saja tidak menyulutkan kemarahan ayah.
“Ada apa dengan kalian?? Kalian ini
benar-benar memalukan!!” teriak ayah marah. Adikku hanya diam ketika dipukul.
Kuat juga dia dipukul sekeras itu.
“Mas! Jangan seperti itu! Kasihan
Dion.. dia masih kecil..” bela Ibu.
“Biar saja! Biar mereka semua kapok!!
Kamu mau apakan uang itu? Apa uang yang ayah beri tidak cukup??” Ayah mulai
memukulkan rotan lagi.
“Ayah!! Cukup!! Dion masih kecil!
Ayah memang tidak pernah peduli!!” Kataku marah. Aku memeluk tubuh adikku. Ayah
yang sudah terlanjur marah kembali memukulkan rotan ke arahku.
“Lihat!
Anak-anakmu seperti ini karena kamu tidak pernah mengurusnya dengan baik!”
teriak ayah pada ibu.
“Apa?? Kesalahan
ibu?? Ini juga salah ayah! Ayah juga seharusnya ikut andil! Jangan menyalahkan
ibu terus!!” Ibu membela diri. Entah mengapa tiba-tiba mereka bertengkar.
Pertengkaran yang tidak pernah kami saksikan selama ini.
Di tengah
pertengkaran itu, tiba-tiba adikku menangis. Dengan tersedu-sedu ia berkata,”Ja….jangan
ber..tetete..tengkar… a..aku minta…. maaf…sebenarnya uang itu ingin kubelikan
tiket untuk ayah dan ibu.. besok kompetisi caturku dimulai.. aku hanya ingin
ayah dan ibu datang… semua kartuku sudah kujual tapi uangnya tidak cukup….”
Kasihan adikku.
Mereka terlalu sibuk dengan urusan mereka sendiri sehingga tidak mengetahui
kompetisinya. Ayah, ibu dan aku hanya diam mendengar penjelasannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar